Legislatif

DPRD Sulsel Paripurnakan  Dua Ranperda dan Pemandangan Umum Fraksi Atas Dua Ranperda 

JEJAKNEWS.ID, Makassar,– Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar rapat paripurna membahas pandangan umum fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun anggaran 2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulsel 2025–2029, Selasa (8/7/2025).

Dalam sidang tersebut, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap kinerja keuangan daerah.

Pandangan umum yang dibacakan oleh Abdul Rahman menyoroti lemahnya pengelolaan pendapatan daerah, ketidakefisienan belanja, hingga kekacauan dalam pengelolaan aset dan penyusunan RPJMD.

PKS menilai, kebijakan pembebasan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pengawasan terhadap pemungutan Pajak Air Permukaan yang masih berbasis taksasi dianggap lemah. Fraksi juga menyinggung belum optimalnya pengelolaan retribusi dan hasil pemanfaatan aset daerah.

“Praktik penyewaan aset daerah yang tidak mengacu pada tarif terbaru menunjukkan lemahnya evaluasi terhadap potensi pendapatan asli daerah (PAD),” ujar Abdul Rahman.

Dalam hal belanja daerah, PKS mencatat pelanggaran prosedur dan inefisiensi, seperti kelebihan pembayaran insentif pejabat, pengadaan seragam SMA yang tidak sesuai spesifikasi, serta pengeluaran makanan, dokumentasi, dan iklan yang tak sesuai standar harga.

Fraksi juga menyoroti pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang belum tertib, penggunaan lintas tahun, serta masih banyaknya transaksi tunai yang seharusnya dilarang. Belanja bantuan pertanian juga dinilai tidak tepat sasaran dan tidak efektif bagi petani.

“Kami mempertanyakan mengapa praktik belanja tidak tepat masih terus berulang, meskipun sudah menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama bertahun-tahun,” katanya.

PKS menekankan pentingnya penguatan peran inspektorat dan sistem pengendalian intern sejak perencanaan hingga pelaksanaan.

Dalam aspek pengelolaan aset dan kas daerah, PKS menemukan lemahnya pengawasan atas rekening kas umum daerah, operasional SKPD, serta Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang tidak memiliki perjanjian tertulis dengan pihak bank. Bahkan, pencairan dana ditemukan dilakukan tanpa dokumen pendukung seperti SP2D.

Sementara itu, pengelolaan aset tetap juga dinilai belum optimal. Banyak tanah milik pemerintah belum bersertifikat, tidak tercatat dengan benar, dan rentan terhadap gugatan hukum.

Persediaan barang, terutama di rumah sakit daerah, belum ditata dengan akurat, menyebabkan selisih antara laporan dan kondisi fisik.

“Kami mendesak adanya roadmap penyelesaian sertifikasi aset dan pelaporan progresnya secara transparan kepada DPRD,” tegas PKS.

Terkait RPJMD Sulsel 2025–2029, PKS menilai bahwa indikator kinerja utama (IKU) yang disusun belum sepenuhnya menjawab isu-isu strategis. Dari 10 isu utama seperti ketimpangan wilayah, keterbatasan fiskal, hingga disrupsi digital, beberapa tidak dijabarkan ke dalam IKU yang jelas.

Beberapa IKU yang tercantum juga dinilai terlalu generik dan tidak mencerminkan karakteristik serta tantangan khas daerah. Tidak ada indikator untuk mengukur kesiapan menghadapi transformasi digital dan kecerdasan buatan, ataupun indikator yang mencerminkan kontribusi sektor pertanian dan penguatan PAD.

“RPJMD ini tidak menyajikan peta logis antara isu strategis, program prioritas, dan indikator kinerja. Ini menyulitkan pengujian logika perencanaan dan evaluasi dampaknya terhadap masyarakat,” tutup Abdul Rahman.

Sementara itu, Dalam kesempatan yang sama, Fraksi Partai Demokrat melalui juru bicaranya, Heriwawan, menyampaikan apresiasi atas pencapaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap laporan keuangan Pemprov Sulsel selama empat tahun berturut-turut sejak 2021.

“Predikat WTP ini tentu menjadi beban moril sekaligus tanggung jawab bagi kami sebagai wakil rakyat untuk terus mengawal pemerintahan yang akuntabel dan transparan,” ujar Heriwawan dalam sidang yang digelar di ruang rapat paripurna DPRD Sulsel.

Namun, di balik apresiasi tersebut, Fraksi Demokrat juga menyampaikan sejumlah kritik dan catatan strategis terkait pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2024.

Fraksi Demokrat juga menyoroti belum optimalnya efektivitas belanja daerah yang tidak sebanding dengan capaian hasil pembangunan. Mereka menilai laporan keuangan belum secara utuh mencerminkan outcome, khususnya di sektor-sektor pelayanan publik.

Selain itu, janji bonus kepada atlet berprestasi PON XXI yang belum direalisasikan juga menjadi sorotan. Fraksi Demokrat menyesalkan tidak adanya alokasi dalam APBD 2024 terkait hal tersebut.

Mereka juga mengkritik masih tertinggalnya akses layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan kesehatan di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Kami mendorong agar pelaporan pertanggungjawaban ke depan menggunakan pendekatan outcome-based budgeting dan dilakukan evaluasi efektivitas antar-OPD, terutama program prioritas yang belum berdampak nyata,” tegas Heriwawan.

Dalam pandangan strategis terhadap RPJMD, Fraksi Demokrat meminta agar rekomendasi yang telah disampaikan saat pembahasan awal menjadi dasar penyusunan dokumen akhir.

Fraksi ini juga menekankan pentingnya perhatian terhadap ketimpangan pembangunan, khususnya di Luwu Raya, Toraja, wilayah perbatasan administratif, serta daerah kepulauan dan pegunungan.

Selain itu, Fraksi Demokrat meminta agar RPJMD memuat strategi mitigasi terhadap krisis global, fluktuasi nilai tukar, hingga potensi penurunan dana transfer pusat.

Mereka juga mendorong penguatan strategi pangan, diversifikasi PAD, dan pemanfaatan skema pembiayaan alternatif seperti KPBU dan kerja sama antardaerah.

Menutup pandangannya, Fraksi Demokrat menyampaikan kritik terhadap ketidakhadiran Gubernur maupun Wakil Gubernur dalam forum-forum resmi seperti rapat paripurna.

Menurut mereka, absennya kepala daerah dalam ruang akuntabilitas menunjukkan sikap yang abai terhadap mandat rakyat.

“Berpartisipasi dalam kegiatan publik seperti kampanye Gerakan Anti Mager tapi justru ‘mager’ saat diundang DPRD adalah ironi. Undangan DPRD adalah mandat rakyat. Mengabaikannya berarti mengabaikan suara publik,” ujar Heriwawan.

Fraksi Demokrat menegaskan komitmennya untuk terus mengawal pembahasan dua Ranperda tersebut secara kritis dan konstruktif, demi menjaga integritas perencanaan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat Sulawesi Selatan.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button