Opini  

Barcelona, Sanana dan Pencado (Catatan Perjalanan ke Taliabu)

Oleh: Pdt. Rido Kwalomine

 

• BARCA; Bukan hanya Camp Nou.
Sekiranya ada beberapa fakta unik tentang Barcelona, kota terbesar ke dua di Spanyol. Selain memiliki club papan atas level dunia yang berkali-kali meraih “si kuping besar” Piala Champion Eropa, Barcelona adalah kota dengan desain arsitektur yang indah serta dikenal sebagai kota yang ramah pada perempuan (setidaknya itulah konsep yang diusung dalam pengembangan kota beberapa dekade belakangan). Pada malam di hari ke delapan belas Bulan April ini, beta benar-benar berada di Barcelona. Tapi bukan di Kota Barcelona yang menjadi markas Camp Nou itu, melainkan di atas Kapal Barcelona yang menghubungkan Kota Ambon, Sanana, Ternate, Jailolo dan Manado. Tepat pukul 20:15 WIT, Barcelona yang “gesit” membelah kesunyian yang membungkus pelabuhan Slamet Riady – Ambon, melaju dengan kecepatan 15 knot meninggalkan teluk ambon menuju Sanana. Malam berlalu dan pagi menjemput. Aroma kopi Sanana pun dapat dihirup ketika pukul 08.10 WIT kapal ikat tali di pelabuhan. Maka setelah lima tahun berlalu, kembali diri ini menjejali kota kecil bersama Jemaat tempat beta menjalani masa vikaris pada tahun 2011 – 2012 silam yang dimentori oleh Pdt Yanez Titaley, sahabat beta sendiri.

• SANANA; Kota Multikultur di Pulau Sulabesi.
Sanana adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Sula yang didirikan pada tanggal 31 Mei 2003. Dapat diakses dari Kota Ambon maupun Ternate. Jarak Sanana – Ternate adalah 284 KM dapat di tempuh melalui penerbangan udara maupun pelayaran lau. Sedangkan jarak Sanana – Ambon yaitu 294 KM, selisih 10 KM Sanana – Ternate. Sanana – Ambon pun dapat diakses melalui penerbangan udara dan pelayaran laut. Harga tiketpun relatif sama.
Mengutip buku Social Change with Respect to Culture and Original Nature karya William F. Ogburn yang menjelaskan syarat terjadinya Integrasi Sosial, maka Sanana kota kecil yang multikultur ini, sejak lama telah memenuhi syarat terjadinya integrasi sosial itu dengan dua bentuk yakni Integrasi Sosial Normatif dan Integrasi Sosial Fungsional. Terbentuk oleh beberapa faktor-faktor pendorong Integrasi Sosial, a.l; Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan berbeda, sikap saling menghargai orang lain dengan kebudayaannya, mengakui kelemahan dan kebudayaan masing-masing, sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat dan amalgamasi atau perkawinan campur. Sayangnya, kesempatan yang seimbang dalam ekonomi terhadap berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, belum terpenuhi. Masih ada golongan masyarakat yang dikategorikan sebagai ‘orang-orang kalah’ (meminjam bahasa Topatimasang).

Secara demografis dapat digambarkan bahwa 90,82% Masyarakat Sanana memeluk agama Islam, Protestan 7,47%, Katolik 1,35%, Hindu 0,05%, Lainnya 0,31% (Sanana dalam angka; 2020). Dihuni oleh suku dan sub suku; Sulabesi, Mangoli, Taliabu, Ambon, Seram, Lease, Kei, Tanimbar, Buru, Tobelo, Galela, Ternate, Tidore dan berbagai suku/sub suku lain di Maluku dan Maluku Utara serta Bugis, Buton, Makassar, Bajo, Minahasa, Sanger, Timor, Bali, Jawa, Sunda, Minang, Padang, Batak hingga warga keturunan Arab dan Tionghoa. Tersebar di 11 Desa yakni Fagudu, Falau, Fatcei, Fogi, Mangon, Pastina, Umaloya, Wai Ipa, Waibau, Waihama dan Wailau.

Sanana pernah terkoyak oleh Konflik kemanusiaan 29 tahun silam, namun sangat cepat keluar dari lobang hitam itu dan menata hidup bersama. Sebagai Kota Kabupaten, kini Sanana telah menjadi rumah bersama yang saling menghidupi dengan moto Dad Hia Tet Sua (Bersatu angkat Sula). Seperti yang disebutkan oleh Talcot Parsons dalam Sistem Sosialnya, maka Orang Sanana khususnya dan Orang Sula umumnya memiliki ritus sosial serta menjadi perekat sosial yang disebut Lom Podohoi; Saling tolong menolong satu dengan yang lain, dalam susah maupun senang. Dengan Lom Podohoi yang transformatif, kekerabatan dan kekeluargaan di Sanana telah menjelma menjadi vitamin penambah vitalitas dalam tubuh Relasi dan Integrasi Sosial.

• PENCADO Memanggil.
Di hari ke Dua puluh satu Bulan April, perjalanan lintas laut dan pulau dilanjutkan ke pulau Taliabu bersama kapal Al-Sudais. Seperti sudah menjadi mahfum, jadwal kapal selalu molor dari waktu yang direncanakan. Sesuai jadwal, mestinya pada pukul 11.00 WIT kapal sudah lepas tali, namun kapal besi ini benar-benar lepas tali pada pukul 12.30 WIT, padahal penumpang sudah berada di atas kapal sejak pukul 10.00 WIT. Inilah salah satu potret menyedihkan yang selalu dialami penumpang kapal.

Al-Sudais memacu mesin meninggalkan pelabuhan Sanana dengan kecepatan 16 knot ke arah utara, kemudian berbelok ke barat melewati selat Mangoli selanjutnya menuju Pasipa. Hari ini cuaca cerah dengan langit biru bersama laut nan teduh seteduh irama angin sepoi-sepoi yang berbisik ditelinga. Rekan Pendeta Jonathansupusepa, KMJ Lekokadai menemani beta disepanjang perjalan dengan cerita-cerita pelayanannya yang berkesan. Iya telah melayani di Taliabu khususnya Suku Kadai selama 5 tahun. Mendengar kisah – kisah pelayanannya maka dapat dibayangkan bahwa betapa tidak mudahnya ia bergulat di tengah realitas masyarakat yang terjajah sejak dalam pikirannya. Membentuk mindset masyarakat Suku Kadai  ~khususnya jemaat yang dilayani~ supaya maju dan adaptif dengan perubahan di era transformasi digital adalah perkara yang besar. Menurut Pendeta yang juga Ketua Bidang III PD AMGPM Sula Taliabu ini, Pendidikan adalah pintu utamanya. Namun perlu kerja keras untuk meyakinkan Jemaat tentang pentingnya Pendidikan. Dikisahkan, ada pikiran di jemaat bahwa “tidak sekolah tidak mati, kecuali mati kalau tidak sekolah barulah sekolah itu dianggap penting”. Anggapan yang sama pun berlaku untuk berdoa atau beribadah. Hal ini mengusik tanya, apa sebabnya yang mesti didalami secara ilmiah untuk menemukan akar persoalan.

Pembicaraan kami yang menarik ini terinterupsi oleh cruw kapal yang memberi informasi bahwa kapal akan berlabuh di Pasipa. Tanpa terasa, sekira pukul 15.50 WIT kami tiba di depan Pasipa yang letaknya berada di ujung barat pulau Mangoli. Long boat milik panitia telah terlihat untuk menjemput. Dari kapal, kami harus melompat ke loang boat di tengah laut karena tidak ada dermaga. Selang 15 menit kemudian setelah mobilisasi orang dan barang selesai dilakukan, long boat fiber glass berwarna biru inipun melunjur di kulit air dengan membawa 12 orang (awak dan penumpang) antara lain; Pdt. Nancy Souisa (MPH Sinode GPM), Pdt. Sherly Lakburlawal (Sekla Sula Taliabu) Istri beta Pdt. Jen Nampasnea, Pdt. Dian Toisuta (KMJ Aponia) dan Bung Angky Maspaitella.

• Menjemput Senja di PENCADO
Setelah melewati tiga jam Pasipa – Pencado, dari kejauhan terlihat sejumlah orang berdiri berkerumun di tepi pantai. Cukup ramai terlihat. Orang banyak itu adalah masyarakat dan warga jemaat GPM Pencado yang sedang menunggu kedatangan kami dan ternyata kita akan menyudahi perjalanan ini di pantai itu. Jam 19.00 WIT kami disambut bersamaan dengan senja yang kian pergi dan malam yang kian mendekat. Tarian Yusa dan Cakalele menyambut menyematkan tanda persaudaraan.

Jemaat GPM Pencado saat ini dipimpin oleh Pdt. Rita Tetelepta/Nanlohy. Adapun Pendeta-pendeta yang pernah melayani di Pencado a.l: Pdt. Herry Talaud dan Pdt. Rido Atapary yang kini telah bertugas di Jemaat GPM Lumoly Klasis Seram Barat – Piru. Jemaat GPM Pencado berada di Desa Pencado Kecamatan Taliabu Selatan yang heterogen. Disini akan di helat dua agenda gerejawi yaitu MPPD 23 AMGPM Sula Taliabu dan Sidang 43 Klasis GPM Sula Taliabu pada tanggal 22 dan 24 – 25 April 2022 di gedung gereja Paulus. Bertindak sebagai Ketua Panitia yaitu Pdt. Frans Daly (49 tahun) seorang KMJ Wayokoding. Pdt Frans adalah putra asli Pencado yang sebelumnya merupakan Penginjil yang melayani selama 7 tahun. Pada tahun 2007 ia ditahbiskan menjadi Pendeta GPM. Kesediaan Pdt. Frans menjadi ketua Panitia adalah bukti kecintaan bagi pelayanan.

• PENCADO dan Taliabu dalam Ketidakadilan Negara.
Pencado dominan dihuni oleh Suku Siboyo yang mendiami Pulau Taliabu. Ada tiga suku asli yang mendiami Pulau Taliabu, a.l: Mange, Siboyo dan Kadai. Pulau Taliabu yang panjang membentang dari Timur ke Barat ini, sesungguhnya belum menikmati pembangunan semestinya seperti daerah lain di Maluku Utara atau Indonesia.
Berkat Otda dengan adanya Daerah Otonom Baru (DOB) juga belum berdampak. Sejak berdirinya Kabupaten Kep. Sula pada tahun 2013 hingga kemudian lahir Kabupaten Pulau Taliabu pada 22 April 2013 dari Kabupaten Induk Kepulauan Sula pun belum memberi dampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, air bersih dan akses komunikasi yang memadai masih menjadi mimpi yang entah kapan terwujud. Untuk transportasi, Pencado dan desa-desa lainnya di Taliabu hanya punya pilihan tunggal jalur transportasi yakni laut. Alat Transport yang jamak digunakan adalah long boat berbahan fiber dan kayu. Kendala serius yang lazim dialami adalah ketika musim angin utara, maka desa-desa di bagian utara pulau akan terisolasi karena tidak bisa melaut, demikianpun untuk desa-desa di selatan pulau bila musim angin selatan menerjang. Resiko kecelakaan laut adalah konsekuensi yang siap dihadapi bila “terpaksa” menabrak ombak musim utara atau selatan. Belum lagi bila dibedah biaya yang harus dikuras oleh masyarakat untuk bahan bakar minyak alat transportasi. Di Taliabu Harga Pertalite Rp. 12.000/Liter, Pertamax Rp. 15.000/Liter ~BBM 1 harga tidak berlaku di titik NKRI ini~ Bila dengan Pertalite maka kebutuhan BBM untuk loang boat dengan mesin 40 PK dari Pencado ke Bobong ~kota Kabupaten~ rata-rata 80 liter (PP). Jadi rata-rata biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 1,2 Juta. Karena itu, situasi memprihatinkan ini harus segera direspons oleh negara supaya jalan lingkar Taliabu dapat dibangun untuk memudahkan mobilitas rakyat pada semua bidang kehidupan (ekonomi, sosial dll).

Sarana dan Prasarana penerangan listrik pun pada titik nadir yang serius. Ada dua jaringan listrik yang dibangun pada dua masa yang berbeda nampaknya menjadi saksi bisu. Tiang listrik dan kabel yang membentang dari tiang ke tiang ~sebagai proyek yang dilaksanakan terbaru ini~ telah dua tahun tak kunjung nyala. Nampaknya Nawacita Indonesia terang tak berlaku di titik NKRI ini. Potret Pendidikan dan Kesehatan di Taliabu pun berwajah sebelas dua belas dengan realitas problem sosial yang telah digambarkan sebelumnya. Mesti ada perhatian serius Negara pada semua level supaya keadilan sosial bagi seluruh rakyat  benar-benar menjadi milik seluruh rakyat Indonesia di Taliabu yang bangga menyanyikan Lagu Indonesia Raya sekalipun berada di bawah kolong kemiskinan.

• Sula Taliabu Cup yang dirindu.
MPPD Ke-23 Sula Taliabu berjalan dengan dinamika yang menarik. Setidaknya ada 4 point pembahasan yang paling menonjol dalam musyawarah tersebut, a.l; a) Perlunya Pendidikan Kader untuk meningkatkan kapasitas kader AMGPM berdasarkan Kurikulum Pendidikan Kader AMGPM. b) Kesiapan untuk pelaksanaan Program dan Kegiatan Relawan Mengajar dan Relawan Kesehatan yang akan berlangsung di Daerah Sula Talabu. c) Perlunya perhatian AMGPM guna melakukan distribusi kader menyambut Pemilu 2024. d) Pelaksanaan Sula Taliabu Cup. Sula Taliabu Cup adalah even sepak bola yang telah menjadi trade mark AMGPM di daerah ini. Gelaran akbar ini sudah lama ditunggu-tunggu setelah beberapa tahun terlewatkan tanpa penyelenggaraan. Oleh karena itu, peserta musyawarah memberikan perhatian serius dan menghendaki agar Sula Taliabu cup kembali dapat dilaksanakan sebagai media konsolidasi dan membentuk soliditas.

Beta lalu teringat pada tokoh pembebasan orang kulit hitam dari sistem Apartheid di Afrika Selatan, Nelson Mandela. Mandela mampu menghimpun rakyat dan membangun masa depan bersama. Mandela menggunakan Rugby sebagai alat pemersatu sedangkan Sula Taliabu Cup adalah even sepak bola. Memang Sula Talibu Cup tak sementereng liga nasional atau Champions cup yang dihuni oleh club-club papan atas semisal Real Madrid atau Barca, namun roh/spirit bola yang hidup pada rakyat kebanyakan khususnya dikalangan pemuda, tak dapat diabaikan dalam mendorong tumbuhnya dinamika sosial pemuda dan masyarakat di Sula dan Taliabu.

• Benli yang tra kosong
Diskusi-diskusi di luar forum persidangan pun tak kalah menarik. Diskusi kecil-kecilan semalam suntuk bersama beberapa kader AMGPM membawa kita pada tema-tema Pemberdayaan Pemuda berdasarkan potensi dan mimpi yang ada. Sontak suasana bergeming ketika Pdt Benli Pattihawean selaku Sekretaris Daerah AMGPM Sula Taliabu  menggambarkan prospek usaha di sektor pertanian dan peternakan. Benli yang juga Ketua Majelis Jemaat GPM Tolong ini mampu menggerakan sebuah skema pemberdayaan melalui pemetaan potensi secara jelas. Nampak ia sudah lihai sekali dalam hal ini. Oleh karena itu, ia berupaya untuk menularkan pengalaman pemberdayaan yang dimilikinya kepada rekan-rekannya yang lain. Selain itu, alumnus Pasca Sarjana Sosiologi Unpatti ini juga turut memberi perhatian terhadap eksploitasi sumber daya alam dan ancaman ekologi. Pada beberapa forum, ia lantang berteriak tentang adanya ancaman ekologi di Pulau Taliabu. Untuk hal itu, ia tekun memperkuat kapasitas diri guna melakukan advokasi lingkungan hidup. Terakhir ia mengikuti Pendidikan Amdal yang dilakukan oleh PB AMGPM bersama Universitas Gajah Mada.

• PENCADO dan MALULI yang damai.
Sebagai tuan rumah pelaksana MPPD 23 AMGPM Sula Taliabu dan Sidang 43 Klasis GPM Sula Taliabu, Jemaat GPM Pencado tidak hanya sukses menggelar agenda legislasi gerejawi semata tetapi juga sukses menghidupi semangat beroikumene dan bermasyarakat yang damai penuh kekeluargaan. Pencado bersama Desa Maluli yang bertetangga telah menghidupi spirit Hemung Sia Sia Dufu (Sama satu, satu saja; Semua kumpul jadi satu) Peserta MPPD dan Sidang Klasis diinapkan tidak hanya di rumah warga GPM, tetapi juga di rumah basudara Muslim yang saat ini sedang menjalankan Ibadah Puasa, Basudara Katolik stasi Pencado, umat GKPII dan GBI Pencado. Karena itu, momentum MPPD dan Sidang Klasis yang menghidupi spirit orang basudara ini kiranya terus merekatkan hubungan Ulu Sia (Orang Basudara) di Bumi Sula – Taliabu. Baba Jou berkati kito sou-sou; Apo batananong, Apolos mata luba, Baba Jou po yati pangadadi.

Mau punya Media Online sendiri?
Tapi gak tau cara buatnya?
Humm, tenang , ada Ar Media Kreatif , 
Jasa pembuatan website berita (media online)
Sejak tahun 2018, sudah ratusan Media Online 
yang dibuat tersebar diberbagai daerah seluruh Indonesia.
Info dan Konsultasi - Kontak 
@Website ini adalah klien Ar Media Kreatif disupport 
dan didukung penuh oleh Ar Media Kreatif